Candi
Tinggi merupakan salah satu candi di kompleks percandian Candi Muaro
Jambi yang kondisinya hampir utuh, Tidak utuhnya kondisi
candi disebabkan bahan pembuat candi adalah batu bata yang mudah
mengalami korosi oleh cuaca. Diperkirakan masih terkubur 82 candi di
kompleks percandian ini, yang memiliki luas 2.062 hektar. Adapun candi
yang telah dan sedang dipugar sebanyak 12 candi
Dua
puluh kali lebih luas dari Candi Borobudur di Jawa Tengah dan dua kali
lebih luas dari Kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja, tak heran apabila
kompleks percandian Candi Muaro Jambi pun disebut sebagai kawasan candi
terluas di Asia Tenggara. Sayangnya, kawasan ini bak pusara keabadian
warisan kemanusiaan karena tak satu pun candi yang wujudnya utuh.... Kompleks
Candi Muaro Jambi terletak sekitar 35 kilometer sebelah utara Kota
Jambi, tepatnya di Kecamatan Muara Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi
Jambi. Takjub sekaligus ironis sepertinya dua kata yang pas untuk
menggambarkan kondisi percandian di muara Sungai Batanghari itu.
Kata
takjub mencuat karena luas kompleks percandian ini mencapai 2.062
hektar. Mulai dari lahan yang telah dikuasai Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, kebun milik warga, hingga kanal-kanal
penghubung antarcandi. Candi-candi yang tersebar di antara kanal inilah
keunikan Kompleks Candi Muaro Jambi, yang tak ditemui di kompleks
percandian lain di Nusantara.
Tercatat ada 11 candi utama yang ditemukan dan sebagian sudah dipugar, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi dan Tinggi I, Gedong I dan II, Kedaton, Koto Mahligai, Astano, Teluk I dan II, Bukit Sengalo, dan Kembar Batu. Hamparan candi itu belum termasuk 82 reruntuhan candi yang diperkirakan masih terkubur di dalam puluhan gundukan tanah, atau biasa disebut menapo oleh warga sekitar candi.
Bekas-bekas kanal dan parit di Candi Muaro Jambi merupakan konsep arsitektur tata kota zaman dulu yang menakjubkan. Parit selebar 2-3 meter dibuat mengelilingi candi dan berfungsi sebagai pembatas, sedangkan kanal selebar 6-10 meter dibuat mengular membelah candi-candi yang fungsinya sebagai jalur transportasi. Kanal pun menyambung dengan Sungai Batanghari.
Peneliti BP3 Jambi meyakini, transportasi utama menuju ke candi kala itu menggunakan perahu. Sistem transportasi ini tak ubahnya seperti kanal-kanal di Kota Venesia saat ini.
Ada empat kanal yang telah diberi nama, yaitu Kanal Jambi, Melayu, Terusan, dan Parit Johor. ”Selain kanal, ada Danau Kelari, sebuah danau kecil penghubung antarkanal,” kata Agus.
Selain kanal, ada dongeng menarik yang mengakar di kalangan warga sekitar candi, yaitu kisah tentang kegagalan Raja Datuk Paduka Berhala membangun sebuah candi setinggi langit dalam waktu semalam, yang diminta oleh Putri Pinang Masak. Karena jengkel, raja pun menendang candi tersebut hingga berserakan dan membentuk candi-candi kecil.
Selintas, cerita ini mirip legenda Bandung Bondowoso yang gagal membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang, atau Sangkuriang yang tak berhasil membuat perahu serta danau untuk Dayang Sumbi. namun mitos juga mencuat bawha bagi pasangan yang masi dalam tahap pacaran dikatakan akan mengalami kegagalan jika berkunjung ke tempat ini secara bersamaan.
Setelah dimanjakan rasa takjub, ironi pun muncul kala memandangi bata-bata merah yang menyusun candi itu keropos dimakan usia. Lumut hijau bersemu hitam merekat kuat, retakkan bata yang memanjang pun menjadi hiasan candi. Bahkan, hampir semua candi hanya terdiri atas bagian fondasi dan tubuhnya, sedangkan bagian atas tak terlacak entah ke mana.
Tembok dan gapura yang mengelilingi candi pun hampir tak terlihat bekasnya, seperti gapura dan tembok keliling Candi Gumpung—ditemukan tahun 1820 dan baru dipugar tahun 1982 hingga 1988—yang hanya tersisa bagian fondasinya setinggi betis hingga pinggang orang dewasa.
Ketua Kelompok Kerja Pemugaran BP3 Jambi Kristanto Januardi mengakui, sampai sekarang belum diketahui bagaimana desain bentuk bagian atas candi-candi di Kompleks Candi Muaro Jambi.
Belum ditemukan manuskrip yang menuliskan candi dibuat tahun berapa, bahkan oleh siapa. Sejumlah candi, seperti Astono atau Kedaton, yang diduga dibangun lebih dari satu tahap dengan masa pembuatan yang berbeda pun belum berdampingan dengan bukti prasasti atau catatan sejarahnya.
Tercatat ada 11 candi utama yang ditemukan dan sebagian sudah dipugar, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi dan Tinggi I, Gedong I dan II, Kedaton, Koto Mahligai, Astano, Teluk I dan II, Bukit Sengalo, dan Kembar Batu. Hamparan candi itu belum termasuk 82 reruntuhan candi yang diperkirakan masih terkubur di dalam puluhan gundukan tanah, atau biasa disebut menapo oleh warga sekitar candi.
Bekas-bekas kanal dan parit di Candi Muaro Jambi merupakan konsep arsitektur tata kota zaman dulu yang menakjubkan. Parit selebar 2-3 meter dibuat mengelilingi candi dan berfungsi sebagai pembatas, sedangkan kanal selebar 6-10 meter dibuat mengular membelah candi-candi yang fungsinya sebagai jalur transportasi. Kanal pun menyambung dengan Sungai Batanghari.
Peneliti BP3 Jambi meyakini, transportasi utama menuju ke candi kala itu menggunakan perahu. Sistem transportasi ini tak ubahnya seperti kanal-kanal di Kota Venesia saat ini.
Ada empat kanal yang telah diberi nama, yaitu Kanal Jambi, Melayu, Terusan, dan Parit Johor. ”Selain kanal, ada Danau Kelari, sebuah danau kecil penghubung antarkanal,” kata Agus.
Selain kanal, ada dongeng menarik yang mengakar di kalangan warga sekitar candi, yaitu kisah tentang kegagalan Raja Datuk Paduka Berhala membangun sebuah candi setinggi langit dalam waktu semalam, yang diminta oleh Putri Pinang Masak. Karena jengkel, raja pun menendang candi tersebut hingga berserakan dan membentuk candi-candi kecil.
Selintas, cerita ini mirip legenda Bandung Bondowoso yang gagal membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang, atau Sangkuriang yang tak berhasil membuat perahu serta danau untuk Dayang Sumbi. namun mitos juga mencuat bawha bagi pasangan yang masi dalam tahap pacaran dikatakan akan mengalami kegagalan jika berkunjung ke tempat ini secara bersamaan.
Setelah dimanjakan rasa takjub, ironi pun muncul kala memandangi bata-bata merah yang menyusun candi itu keropos dimakan usia. Lumut hijau bersemu hitam merekat kuat, retakkan bata yang memanjang pun menjadi hiasan candi. Bahkan, hampir semua candi hanya terdiri atas bagian fondasi dan tubuhnya, sedangkan bagian atas tak terlacak entah ke mana.
Tembok dan gapura yang mengelilingi candi pun hampir tak terlihat bekasnya, seperti gapura dan tembok keliling Candi Gumpung—ditemukan tahun 1820 dan baru dipugar tahun 1982 hingga 1988—yang hanya tersisa bagian fondasinya setinggi betis hingga pinggang orang dewasa.
Ketua Kelompok Kerja Pemugaran BP3 Jambi Kristanto Januardi mengakui, sampai sekarang belum diketahui bagaimana desain bentuk bagian atas candi-candi di Kompleks Candi Muaro Jambi.
Belum ditemukan manuskrip yang menuliskan candi dibuat tahun berapa, bahkan oleh siapa. Sejumlah candi, seperti Astono atau Kedaton, yang diduga dibangun lebih dari satu tahap dengan masa pembuatan yang berbeda pun belum berdampingan dengan bukti prasasti atau catatan sejarahnya.
”Menapo”
Saat ini, Kompleks Candi Muaro Jambi memang belum bisa dijelajahi
menggunakan perahu, kecuali Candi Teluk I dan II, karena terletak di
seberang Sungai Batanghari. Perjalanan menghampiri beberapa candi akan
melewati sejumlah menapo yang telah diberi patok merah, bertuliskan
nomor dan BP3. Menapo-menapo itu terletak di kebun-kebun durian, duku,
dan cokelat milik warga desa.
Bentuk menapo tak ubahnya gundukan tanah setinggi 0,5 sampai 1 meter.
Akan tetapi, dulu, menapo-menapo itu tingginya ada yang sampai 3-6
meter. Menurut penjelasan warga, kata menapo berasal dari kata napo,
yaitu sejenis kancil dalam bahasa setempat. Ketika banjir, napo
mengungsi di gundukan bukit-bukit kecil. Akhirnya, warga menyebut
bukit-bukit kecil tempat napo bersembunyi itu dengan istilah menapo.
Umumnya, nama candi mengikuti nama menapo tempat candi ditemukan. Yang memberi nama pun warga desa, salah satunya Candi Astano.
Tak hanya itu, anggrek berukuran raksasa, yang disebut anggrek macan jambi (Gramma top phyllum speciosum), terlihat eksotik di atas dahan-dahan pohon durian di sekitar menapo.
Candi ini sempat terkubur sampai akhirnya ditemukan kembali oleh
tentara Inggris, SC Crooke, tahun 1820. Sayangnya, sekali lagi, karena
jenis batunya adalah batu bata, kebanyakan candi yang ditemukan tak utuh
kondisinya.
Pemugaran candi dilakukan secara bertahap dan satu per satu. Sejak tahun 1970-an hingga kini, pemugaran terus berlanjut, yaitu pada Candi Kedaton.
Begitulah adanya Candi Muaro Jambi. Sebuah peninggalan budaya yang
maha-agung di tanah Nusantara, yang menua karena proses alam. Dan, kalau
tak dijaga, yang tertinggal hanya pusara dan ceritanya..