“PENCURI DI LAHAN
SENDIRI”
Harga sembako
terus bertahan di puncak teratas dan tak ada tanda-tanda untuk turun meski
sejenak, meski semua mata melihat kami tak punya cukup tabungan lagi tuk
bertahan mengisi perut yang keroncongan. Pekerjaan yang semula hanyalah petani
karet semakin tertunduk lesu menerima kenyataan harganya tak pernah naik dari
waktu kewaktu, tak punya pilihan lain untuk bertahan hidup selain mencari
pekerjaan baru demi keluarga, meski pas-pasan. Punya sebidang tanah yang
ditanami karet dan beberapa batang kayu, inilah tabungan kami yang masi
tersisa. Mungkin ini cukup untuk menambah sedikit penghasilan memenuhi biaya
hidup sehari-hari selama sepuluh hari kedepan.
Beras dan
keperluan lainnya semakin menipis, tidak mungkin memaksakan untuk terus
menyadap karet yang hasil getahnya juga sedang sedikit karena saat ini sedang
musim gugur. Dengan semangat yang penuh kami memilih untuk mencoba menggunakan
tabungan beberapa batang pohon kayu untuk di jual sebagai kayu balok. Bersyukur
ternyata negeri ini masi bisa menumbuhkan kayu sehingga bisa di jual sebagai
penghasil uang dan memenuhi kebutuhan hidup, pikir kami.
Pohon demi
pohon tumbang ketanah, suara mesin memekakkan telinga, rasa capek berubah jadi
syukur saat melihat pohon yang tadinya tegak berdiri kini menjadi batangan
balok yang sudah tersusun rapi di tepi jalan, haripun mulai senja dan kami
mulai beranjak pulang.
Di perjalanan
pulang dengan membawa mesin singso kami di cegak oleh bebrarapa orang bapak-bapak yang berseragam, dan
mengaku sebagai orang kehutanan dan menyita mesin yang kami bawa juga menyita kayu
balok yang kami tebang, Kami di tuduh dengan tuduhan” PEMBALAKAN LIAR”.
Seketika itu
amarah dan kutuk kami kepadaMu penguasa.
Kenapa dengan
negeri ini?!
Apa benar
negeri ini merdeka?!
Kenapa kami
terus di jajah?!
Kami doakan
semoga Tuhan memberikan kesempatan untuk meraskan hidup seperti kami, melihat
anak istri menangis menahan rasa lapar sedangkan kalian di sana membangun
istana dan menyantap berbagai macam makan lezat dan terkadang membuangnya
sia-sia, lalu membeli semua hal yang kalian suka lalu melambaikan tangan dengan
senyuman bangga. Apa kalian pernah bertanya hari ini kami makan apa?!.
Kami bodoh
dengan pengetahuan dan kami miskin dari harta. Tetapi sesungguhnya kami tak
mengharapkan sebuah sumbangan, yang kami butuhkan sebuah pekerjaan layak karena
kami masi punya tenaga, kaki dan tangan untuk bekerja untuk menyambung hidup
keluarga kami.
Tapi menunggu
dan terus menunggu membuat sebgaian dari kami jadi gelapmata, tak mampu melihat
anak kami menangis dengan tubuh yang semakin tampak kurus dengan tulang yang
mulai nampak jelas terlihat, mereka yang
sekolah mengatakan anak kami kurang Gizi. Sebagian dari kami berjalan mencari
bantuan adakah yang bisa membantu tapi kehidupan kami yang sebagai petani tak
memiliki penghasilan lagi. akhirnya dengan berat hati sebagian dari kami
memilih menghalalkan segala car demi dapurnya bisa mengepul lagi. perampokan,
pencurian dan penipuan mereka lakukan.
Lalu kalian
menyebut kami sebagai penjahat karena sudah mengambil hak orang lain dengan
hukuman yang kalian poniskan seberat-beratnya. Kami tertegun mengapa kalian
yang memiliki pendidikan begitu “PINTAR”, kami yang “BODOH” punya lagi-lagi
marah dan bertanya-tanya.
Ada apa dengan
negeri ini Tuan sang penguasa ?
Coba lihat,
kami kemarin melakukan hal yang jelas jelas
menebang pohon kayu kami sendiri, yang kami tanam di lahan sendiri, yang kami
rawat sendiri saat akan kami ambil hasilnya kalian rampas semua itu dari
kami?!. Lalu sekarang giliran kami tak lagi punya apa-apa dan mencoontoh dari
kalian dengan mengambil sedikit harta kalian yang sebenarnya ada hak kami,
lagi-lagi kami salah. Apakah benar kami yang “BODOH” ini tak layak hidup di
negeri Indonesia tercinta ini dan apakah kami tak layak “MERDEKA?”.